16 Feb 2011

Ibu Kota Indonesia, Jakarta

Apa nama ibu kota negara Indonesia? Jakarta!
Kemana kau akan merantau, dik setelah Jogja? Jakarta!
Tinggal dimana Nabila? Jakarta!
Eh saya dari Jakarta lho
Waduh, dari Pekan Baru mau ke Jambi, musti balik dulu Pekan Baru - Jakarta - Jambi
Iiih, Jogja mulai macet deh berasa Jakarta!

Terinspirasi dari blog paman saya, jakartasepanjangjalan.blogspot.com, bercerita tentang Jakarta.

Jakarta!
Kata yang tidak asing bagiku, dan rata - rata mendengar kata Jakarta identik dengan kemacetan, pusat atmosfir Indonesia, dan metropolis. Ehem, tidak perlu banyak saya cerita mengenai sisi ibu kota yang sudah banyak orang tahu dan acap kali membuat snewen emosi orang.

Setelah seminggu jetlag dari perjalanan ibu kota ala Eropa yang tidak ada kemacetan selain kemacetan orang - orang antri di stasiun - stasiun underground, saya menyempatkan menengok dan mencari sisi lain ibu kota negara saya, Jakarta, sebelum pulang ke rutinitas di Jogjakarta.

#Jalan Surabaya
Perjalanan dimulai dari toko - toko antik di Jalan Surabaya. KRL Ciujung (4.500 rupiah) membawaku menuju St. Sudirman - naik ojek (10.000) rupiah - St. Cikini. Jalan Surabaya terletak di belakang St. Cikini, pada pukul 09.00 pagi, para pedagang mulai membuka kios dagangan mereka yang kebanyakan menjual barang antik. Pedangang di Jalan Surabaya menjelaskan mereka adalah warga Tampomas yang terkena gusur, kebanyakan dari mereka adalah para pelaut. Nampak terlihat dari aneka dagangan yang mereka jual, jangkar, teropong, piringan hitam, telpon lama etc
Eits, berhubung perjalanan akan dilanjutkan menuju kawasan KOTA, sehingga kami harus mencari halte Transjakarta terdekat, yaitu halte pasar rumput dengan berjalan kaki.

# Klenteng Petak Sembilan
Transjakarta membawa kami dari halte Pasar Rumput menuju Dukuh Atas dan berpindah koridor ke koridor KOTA turun di halte Glodok. Gang menuju klenteng ada di seberang halte Glodok. Berjalan kaki sebentar sampailah kami di Klenteng Petak Sembilan. Bau hio sangat tercium dari luar, halaman klenteng penuh umat. Aktivitas di dalam klenteng semakin nampak di beberapa sudut. Umat sibuk melakukan aktivitas mereka, saat saya datang, tepat pada hari sembahyang 'pembuangan sial' -tutur petugas klenteng yang mengantar saya ke dalam sudut - sudut ruangan. Beliau menerangkan dan menunjukkan patung dewa, makna setiap lembar persembahan, lilin, kalender, dsb Perawakan saya tidak nampak seperti umat yang hendak beribadah, ehem beberapa orang berpikir saya jurnalis. (waow jadi teringat profesi jaman cilik saja). Klenteng Petak Sembilan pun mengingatkan pada tempat kelahiran saya di Semarang yang mana banyak klenteng, acara seremonial Gong Xi Fa Chai, Cap Go Meh, dan digalakannya Pasar Pecinan (Semawis). Multikultur sangat terasa di sini, kita akan merasakan keindahan Indonesia.
#Stasiun Jakarta Kota
Transjakarta dari halte Glodok menuju satu halte selanjutnya halte KOTA. Woaw! saya berada di underground menuju pintu keluar ke arah St. Jakarta. Bangunan arsitektural Belanda, langit - langit yang tinggi (ups, saya bukan arsitek). Stasiun Jakarta Kota mengingatkanku pada novel Pramoedya A. Setelah beribadah duhur, kami menyantap makan siang di tenda warung sederhana, pilihan menu Soto Mie melengkapi siang saya.

#Museum Wayang
Warisan Budaya Indonesia, wayang. Berbagai macam wayang melengkapi koleksi museum wayang baik dari wayang kulit, wayang golek, mulai dari lukisan, foto, dan diorama wayang. Yang menarik, ada pagelaran wayang kulit dengan dalang muda dan karawitan serta sinden berbusana Jawa lengkap. Tidak terlalu mahal untuk masuk museum wayang.

#Ruang apresiasi publik
Halaman depan Museum Fatahillah menjadi ruang publik yang sederhana dan menjadi ruang ekspresi bagi masyarakat. Saat saya berkunjung, ada kumpulan anak muda yang sedang mengapresiasikan pikiran mereka baik tulisan, video. Lainnya, ada penjual obat yang menggunakan metode jaman dulu (baca: berteriak memakai mic, atraksi atas pasien untuk memperlihatkan mujarab obatnya, dan menjualkan secara massal nego harga). Unik!

#Bersepeda ala noni tuan Belanda
Ada yang berbeda dari suasana Kota, yaitu persewaan sepeda lengkap dengan topi ala noni dan tuan Belanda. Harga sewa terjangkau, 15.000 - 20.000 rupiah. Kita dapat menggunakan sepeda di seputar Kota. Pilihan menuju pelabuhan Sunda Kelapa ada dibenak kami. Lumayan 20 menit tidak jauh dari halaman museum Fatahillah. Pelabuhan Sunda Kelapa membawa imajinasi saya kepada cerita VOC. Banyak kapal - kapal pinisi berlabuh di dermaga, bongkar muat.

Di Jakarta, masih banyak alternatif untuk menikmati sisi lain dari Jakarta selain penat kemacetan, berakhir pekan di mall. Ruang publik dan pilihan masih dapat diakses, mungkin memang tidak menutup kemungkinan tetap saja jarak tempuh menjadi pertimbangan, selain ketertarikan masing-masing. Masih ada Kemang, Wisata Kuliner, Pertunjukan di TIM, Dufan, etc

So, banyak cara menikmati sisi lain dari ibu kota agar tetap menikmati kota perantauan yang metropolis, Jakarta.


Jujur, sudah dua bulan saya tidak tenggelam dalam udara ibu kota, tidak dapat menikmati kemacetan, hectic ibu kota, dan melihat polah ponakan kecil penghapus penat melengkapi udara kampung sektor 4 Bintaro yang teduh. Saya rindu suasana itu sekarang, Jakarta :)

foto jepretan: akhir pekan sante di ibu kota

4 komentar:

  1. Mau ajak setelah dedek lahiiiir yaaaa, paman :D

    BalasHapus
  2. kereeeeeeeeeeeennnnnnn
    emang jakarta keren if we know how to live :)

    BalasHapus
  3. Wiwien, eaaaa berlaku buat penganten baru :) *wink

    Jakarta, Jogja, dan sebagaimana berantung cara kita menikmatinya agar tetap bahagia :D

    BalasHapus